Sudah genap 3 bulan kita tak lagi bersama.
Aku tak bisa menyalahkanmu atas kejadian kemarin itu, mungkin aku juga salah
kenapa aku tak bisa membuat sahabatku percaya sepenuhnya padaku. Jujur
sebenarnya aku rindu sekali denganmu, aku merasa kehilangan meskipun aku yang
kau sakiti dengan meninjuku secara tiba-tiba saat itu tanpa kutahu apa salahku.
Aku tak tahu harus berbuat apa. Aku sendiri bingung, aku marah dan dendam, tapi
aku juga masih sayang padamu. Aku terpaksa menjauh, aku tak tahu harus berbuat
apa lagi.
***
Perkenalkan, namaku Tito Leonard Saragih,
kerap dipanggil Tito oleh teman-temanku. Saat ini aku sedang kuliah di salah
satu Akademi negeri di kotaku, Medan. Aku juga ingin memperkenalkan 2
sahabatku, Andra dan Jogi. Mereka orang yang sangat baik. Aku masih ingat awal
mula aku mengenal Jogi. Saat itu, 1 hari setelah pengumuman kelulusan masuk
Akademi, kami disuruh untuk datang ke kampus, untuk diberi pengarahan tentang
keperluan-keperluan yang harus dibawa selama ospek. Saat itu juga awal mula aku
berkenalan dengan Jogi. “MUP ya?” katanya. “Iya. Kamu sendiri?” balasku sambil
bertanya. “Aku juga. Namaku Jogi Sirait,” jawabnya sambil mengulurkan
tangannya. “Aku Tito Leonard Saragih, kebetulan ibuku boru Sirait, kita
mar-lae,” jawabku sambil menyalamnya. Lumayan lama kami mencoba untuk saling
mengenal satu sama lain. Ternyata Jogi tinggal di Belawan dan dia berasal dari
salah satu SMK swasta jurusan otomotif. Aku juga mengingat awal mula aku
bertemu Andra. Di awal pertemuan dia terlihat sombong, urakan, dan kampungan.
“Mungkin dari kampung,” batinku sambil nyengir-nyengir sendiri. Aku mengenal Andra
ketika kami sudah sah sebagai mahasiswa Akademi (selesai ospek). Saat itu kami
yang laki-laki disuruh oleh Kepala Program Studi (KAPRODI) kami untuk
mengangkat meja dan lemari besi dari salah satu gedung ke gedung yang lain. (Sedang
adanya perpindahan kantor dosen program studi kami). Setelah selesai mengangkat
meja dan lemari besi tersebut, kami diberi 3 nasi bungkus sedangkan jumlah kami
ada 5 orang. (Harusnya sih kami ada 7 orang laki-laki, tapi saat itu yang 2
lagi belum hadir hari itu). Ya karena jumlah nasi bungkusnya hanya 3 saja, maka
kami saling berbagi, kebetulan waktu itu aku dapat 1 untukku sendiri.
Esoknya kami berjumpa lagi di kelas. Hari
berlangsung dengan begitu saja hingga beberapa minggu kemudian, setelah absen
kelas keluar, aku terkejut ternyata Andra marga Sirait, yang menandakan kami
mar-lae juga. Hari-hari kulalui di Akademi bukan dengan mereka. Hampir 1 tahun
aku hanya berteman dengan Yogi, sedangkan Andra dengan Julius, dan Jogi
menyendiri alias kurang pergaulan. Hingga suatu hari, di saat libur semester
genap, aku mengajak mereka ikut “Pelatihan Guide” gratis, malah peserta yang
ikut akan dibayar. Selama 2 hari pelatihan kami jadi semakin dekat hingga di
hari terakhir pelatihan kami sepakat untuk pergi berlibur setelah kami membayar
uang perkuliahan nantinya. Kami merencanakan Medan-Kabanjahe-Parapat-Tarutung
Tour.
Dan akhirnya tur tersebut kami mulai. Kami
berangkat dari kampus (kami janjian jumpa di kampus) menuju terminal bus.
Kira-kira jam 6 sore kami tiba di terminal bus. Saat itu bus lagi kosong dan
akan beroperasi kembali 1 jam kemudian. Kami sepakat untuk makan malam dahulu
sebelum berangkat. Dan akhirnya kami berangkat menuju Kabanjahe jam 8 malam.
Kami tiba di terminal bus jam 11 malam. Saat itu tidak ada lagi angkutan umum
untuk membawa kami menuju tempat persinggahan kami, yakni rumah Marisa, teman
sekampus sekaligus sepupu kandungku. Karena jarak dari terminal ke rumah Marisa
tidaklah terlalu jauh, kami pun memutuskan untuk berjalan kaki. Di perjalanan,
ternyata ada Indomaret yang masih buka, kami singgah sebentar untuk membeli
beberapa makanan yang nantinya akan diberikan pada keluarga Marisa sebagai
tanda kehormatan. Setibanya di rumah Marisa, Andra dan Jogi langsung diantar ke
kamar Marisa (kebetulan Marisa tidak di rumah, masih di kosannya di Medan)
sedangkan aku, aku harus bercakap-cakap dahulu dengan ibunya Marisa karena
mereka adalah saudaraku. Lebih dari setengah jam kami telah bercakap-cakap,
kemudian aku permisi untuk ke kamar karena aku sudah sangat mengantuk. Malam
itu kami pun tidur seranjang bertiga dan semakin eratlah pertemanan ini.
Keesokan harinya, aku mendapatkan diriku
yang terakhir bangun di antara kami bertiga. Mereka sudah lebih setengah jam
bangun akan tetapi tetap di kamar karena segan untuk keluar. Kemudian untuk
menghilangkan rasa bosan mereka, aku mengajak mereka ke loteng rumah Marisa
karena dari loteng tersebut kami akan melihat indahnya pemandangan Gunung
Sinabung secara nyata dan jelas terpampang. Kami mengambil beberapa foto untuk
kami abadikan, untuk menandakan bahwa kami pernah ke tempat ini. Setelah itu
kami turun ke bawah untuk sarapan, mandi, dan kemudian melanjutkan perjalanan
ke Pangururan.
Beberapa jam kemudian, tak terasa kami
telah berada di Pangururan. Kemudian dengan bermodalkan alamat, kami
mengunjungi salah satu rumah sepupuku di sana. Setengah jam kami mencari,
akhirnya kami menemukan rumah sepupuku tersebut. Sesampainya di sana, kami
langsung diantar ke kamar karena sepupuku tersebut harus kembali lagi ke
kantornya karena ada urusan penting. Kali ini tempat tidur kami jauh lebih
kecil, kami tetap bersyukur toh juga kami menumpang dan gratisan. Saat itu kami
kelaparan, maklum belum makan siang.
Akhirnya Jogi memutuskan untuk membeli nasi bungkus untuk kami bertiga
sedangkan aku dan Andra asyik menyusun barang karena kami berencana bakalan
menginap disini selama 3 hari 2 malam. Lama kami menunggu, akhirnya Jogi datang
juga. Kami pun makan siang bersama, kemudian istirahat.
***
“Jo, status facebookmu kok gitu? Siapa
orang yang kau maksud?”. Begitulah isi SMSku di malam sebelum hari di mana Jogi
meninjuku. Sekilas informasi, di status facebooknya Jogi memaki-maki seseorang
dengan kata-kata ‘pengkhianat’, ‘teman sialan, sok baik’, dan ‘munafik’. Lama
aku menunggu balasan SMS darinya hingga akhirnya aku tertidur. Keesokan harinya,
aku terbangun jam 5 pagi dikarenakan handphoneku bergetar, ternyata ada SMS.
Kubaca SMS tersebut dan ternyata dari Jogi. “Itu untuk kau bangsat! Gak usah
sok baik kau samaku! Kau lihat aja entar pembalasanku ya! Dasar bangsat!”
Hatiku kecewa saat itu juga, bagaimana bisa sahabatku ini memfitnahku seperti
itu. Hatiku hancur, dalam hati aku marah, aku sedih, aku bertanya-tanya apa
sebab dia berpikiran seperti itu.
***
“Hari ini kita bakalan ke hotspring,” kataku pada Andra dan Jogi.
Mereka mengangguk sebagai tanda setuju. Dengan bermodalkan tas yang berisi plastik
dan baju ganti, kamipun pergi menuju hotspring. Kami pergi dengan menyewa
‘betor’ atau becak bermotor. Kira-kira 15 menit kami dalam perjalanan, akhirnya
kami tiba di hotspring tujuan kami. Akhirnya kami menuju kolam renang hotspring
yang telah disediakan. Karena air dalam kolam renang tersebut tidak terlalu
menantang alias tidak hangat, akhirnya kami berpindah ke bak air hangat yang
ada di sebelah kolam renang tersebut. “Wow, ini sih namanya bukan hangat lagi,
ini namanya uji nyali neraka,” kataku sambil tertawa. Lama kami di dalam, tak
satupun dari kami yang berani berendam di bak tersebut. Terkadang kami saling
tolak-menolak untuk menciptakan permainan. Dan ternyata Andra mencoba masuk ke
bak. Belum ada 1 menit di dalam bak, Andra langsung naik sambil menggeliat kepanasan. Kamipun tertawa bersama.
Kami berendam selama 1 jam lebih sambil menggosok badan satu sama yang lain.
Akhirnya kami mandi dan mengenakan baju ganti yang telah kami bawa tadi.
Setelah berpakaian kami memesan makanan (seperti itulah hotspring di sini,
permandian diberikan secara gratis asalkan yang mandi memesan makanan atau
minuman setelah mandi). Sebelum makanan datang, kami sempatkan diri untuk
mengabadikan momen tersebut dengan mengambil beberapa foto. Makanan telah
diantar ke meja kami, kamipun makan, membayar, dan akhirnya pulang dengan berjalan kaki. Di tengah
perjalanan kami mengambil banyak foto untuk diabadikan. Kamipun tiba di rumah
sepupuku, dan akhirnya langsung tidur karena kecapekan. Keesokan harinya kami berencana
melanjutkan perjalanan kami menuju Parapat. Setelah permisi untuk pergi dari
yang empunya rumah, kamipun melanjutkan perjalanan.
Kamipun tiba di Parapat. Kami dijemput
oleh teman kampus kami, Gindar Sirait. Meskipun bukanlah satu jurusan, Gindar
dengan ramahnya membiarkan kami menginap di rumahnya. Kami disediakan 1 kamar
untuk bertiga dengan ranjang yang cukup lebar. Setelah makan malam, akhirnya
kamipun beristirahat. Keesokan harinya, kami pergi ke Tuktuk. Sampai di Tuktuk,
kami menyewa tiga sepeda. Kami berencana mengelilingi Samosir dengan sepeda
tersebut. Perjalanan yang sangat panjang, letih, lelah, lesu, haus, lapar,
semua menjadi satu. Belum lagi ban
belakang sepeda Jogi bocor, pokoknya banyak kesan indah yang kudapat selama
perjalanan tersebut. Aku sangat senang, aku merasa Tuhan telah mempertemukan
kami sebagai sahabat. Kamipun pulang ke Parapat. Sesampainya di Parapat, kami
diajak oleh Gindar untuk mandi ke Danau Toba. Kami pergi ke danau dengan
berjalan kaki karena jarak antara rumah Gindar dan danau tidak terlalu jauh.
Sesampainya di danau, kamipun langsung membuka baju kami hingga kami
bertelanjang dada. Kamipun terjun ke danau. Saat itu Jogi memintaku untuk
mengajarinya berenang. Aku tahu aku bukanlah seorang perenang yang handal, aku
hanya sekedar bisa. Akan tetapi aku tidak menolak penawaran tersebut. Akupun
mengajarinya berenang. Kulihat dia serius untuk belajar renang sehingga akupun
semakin bersemangat untuk mengajarinya. Saat itu Andra tidak ikut berenang,
alasannya sedang tidak bersemangat. Akhirnya setelah 2 jam lebih kami berenang
di danau, kamipun pulang dengan angkutan umum karena tidak sanggup lagi untuk
berjalan. Setibanya kami di rumah Gindar, kami langsung memasak mie sebagai
menu makan malam. Setelah makan, kami menonton sebentar dan kemudian istirahat.
Keesokan harinya, kami berencana untuk melanjutkan perjalanan menuju Tarutung.
Tiba-tiba, dengan alasan finansial yang tidak mencukupi, Jogi berencana pulang
ke Medan. Aku juga berpikiran seperti itu. Akan tetapi beda dengan Andra, dia
bersikeras untuk melanjutkan perjalanan. Aku bingung dan akhirnya aku lebih
memilih untuk melanjutkan perjalanan ke Tarutung bersama Andra. Setelah permisi
dari orangtua Gindar, akhirnya aku, Andra, dan Gindar mengantar Jogi ke
terminal bus yang akan mengantarnya menuju Medan. Setelah Jogi pulang, kamipun
diantar oleh Gindar menuju terminal bus yang akan mengantar kami menuju
Tarutung. Kebetulan jarak antar terminal bus tersebut tidaklah jauh. Sebelum
berangkat, aku berterimakasih kepada Gindar karena dia telah menjamu kami
dengan baik sekali sebagai tamunya.
Aku dan Andra akhirnya tiba di Sipaholon
jam 7 malam, tepat di depan rumah pamannya Andra. Kami langsung mengetuk pintu,
dijamu, dan langsung menuju kamar yang telah disediakan dan kemudian istirahat.
Sebelum tidur, aku mengajak Andra untuk mengobrol sebentar. “Gak enak ya gak
ada Jogi, sepi jadinya, gak ada bahan lawakan,” kataku memulai pembicaraan.
“Iya, jadi gak enak, gak ada bahan kita lagi,” jawabnya sambil tertawa. Akupun
ikut tertawa. Setelah selesai mengobrol kamipun beristirahat. Keesokan harinya,
kami pergi ke Salib Kasih yang terletak di Tarutung. Jarak antara Sipaholon dan
Tarutung tidaklah jauh hanya sekitar 15 menit. Dari simpang Salib Kasih kami
menumpang pada sebuah mobil pick-up untuk dibawa menuju bukit Salib Kasih.
Kira-kira 10 menit perjalanan, akhirnya kami tiba di Salib Kasih, tidak lupa
kamipun mengucapkan terima kasih kepada supir tersebut. Empat jam kami di sana
sambil menyempatkan diri untuk mengambil foto, berdoa, dan membeli souvenir.
Saat mau pulang ternyata hujan turun dengan tiba-tiba. Kamipun terpaksa mencari
tempat berteduh. Lama kami berteduh di bawah salah satu stan penjual
buah-buahan (saat itu sedang tidak jualan) sambil menunggu orang baik yang mau
menampung kami ke bawah. Sekitar 1 jam lebih kami menunggu, akhirnya sebuah
truk menampung kami di bak belakang. Sesampainya di bawah, kami langsung
berterimakasih kepada supir truk yang telah baik hati menampung kami. Kamipun
pulang ke Sipaholon dan kemudian menyantap makan siang yang telah disediakan
oleh bibinya Andra. Setelah makan, kami berencana untuk langsung pulang ke
Medan. Setelah pamit, kami menunggu bus untuk pulang ke Medan di depan rumah
tersebut (tanpa harus ke terminal bus). Akhirnya kami pulang ke Medan.
***
“Kau kenapa? Ada yang salah samaku?”
tanyaku padanya sesaat setelah dia meninjuku dan menendangku. Kulihat
teman-teman kami berusaha memisahkan kami yang sedang bertengkar. “Diam kau
bangsat! Rupanya kau yang selama ini menusukku dari belakang! Kau
jelek-jelekkan aku sama dosen, adek kelas, sama mereka!” jawabnya dengan kemarahan yang memuncak sambil
menunjuk ke arah teman-teman sekelas kami. “Apa buktinya?” kataku kesal.
“Udahlah diam aja kau bangsat! Selama ini aku ada mata-mata di kelas ini, asal
kau tau aja ya! Dasar teman bangsat kau!” bentaknya. Aku terdiam, terduduk, aku
menangis karena aku tak tahu harus ke mana meluapkan emosi dalam diriku ini.
Ternyata masalah ini terlihat oleh Kepala Jurusan kami, kamipun dipanggil ke
kantornya untuk menjelaskan apa dan mengapa hal ini bisa terjadi. Kami disuruh
masuk satu per satu. Awalnya dia yang masuk. Akupun menunggu sedikit lama
ditemani oleh Andra dan Lili. Sesaat setelah dia keluar, aku masuk ke dalam
kantor tersebut. Setelah ditanyai ini itu, akupun keluar.
***
Hingga sekarang aku dan Jogi tidak
berhubungan sama sekali. Aku berusaha menghindarinya agar aku tak semakin sakit
hati. Pernah suatu hari aku membuat sebuah status di facebookku seperti ini,
“Pengen kali aku memblacklist kau dari hidupku. Aku udah benci kali samamu
sekarang! Masa kau lebih percaya oranglain daripada sahabatmu sendiri!”
Keesokan harinya, aku buka facebookku untuk melihat perkembangan statusku.
Setelah selesai men-check statusku, aku coba untuk membuka profil Jogi. Dan
ternyata apa? Di menghapusku dari pertemanannya! Aku semakin marah tapi juga
bingung. Apa dia baca statusku? Tapi kenapa jadi dia yang marah samaku,
bukankah harusnya aku yang marah? Atau jangan-jangan, dia sangat merasa
bersalah, kemudian tak mau mengganggu hidupku lagi? Karena tak tahu harus
berbuat apa lagi, aku langsung memblokir facebooknya, aku merasa itu adalah
keputusan yang tepat. Aku juga memutuskan untuk tak lagi mencampuri urusannya
dan tak mau lagi ikut serta dalam suatu kegiatan yang melibatkan dia (kecuali
terpaksa)! Ketahuilah, aku sudah memaafkanmu dari awal meskipun terkadang
pikiran ini ingin membalas perbuatanmu yang telah mempermalukanku. Terima kasih
karena selama persahabatan kita berlangsung, kau telah baik padaku. Kebaikanmu
akan selalu kuingat dan kukenang. Aku takkan lagi menyalahkanmu dan provokator
itu. Aku juga berjanji untuk tidak lagi mencari tahu siapa provokator tersebut.
Tapi 1 yang kutahu dan kuyakini, kebenaran akan tetap terungkap dan kebusukan
akan tercium dalam waktu dekat. Aku tak mau mengatakan “AKU TAK MAU LAGI BERSAHABAT
DENGANMU” karena sesungguhnya aku masih ingin. Biarlah waktu yang menjawab
semua masalah kita. Yang jelas, aku takkan pernah mengkhianati sahabatku
sesulit apapun posisiku. Aku menyayangi semua orang yang kuanggap sahabat. Satu
yang kuinginkan darimu, kenanglah semua kesan positif yang kau dapat dariku dan
janganlah terlalu mudah percaya terhadap perkataan seseorang tanpa terbukti
kebenarannya.
SEKIAN
Kisah nyata persahabatan yang kualami.
Nama tokoh-tokoh di atas merupakan nama
samaran.
Hargailah sahabatmu, percayalah padanya,
sayangi dia tanpa kata ‘tetapi’ !